MAHABBAH DALAM PENGENDALIAN DIRI


A.    PENDAHULUAN
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.

 

II. Permasalahan
Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dal
am menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, yaitu keinginan
yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi. Sifat kedua ialah al-hasud, yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna dan beralih kepada dirinya. Sifat riya’, yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri, dan sebagainya dari berbagai sifat hati.

III. Pembahasan
Allah menerangkan diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Batin (QS. Al-Hadid/57 : 3). Dunia dan isinya adalah pancaran dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin.
dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia yang sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.
Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin adalah sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan perjuangan (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan senantiasa merasa dihadapan Allah Swt. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Al-Ghazali mengumpamakan jiwa manusia bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang diperbuat manusia (QS. Al-Muthaffifin/83 : 14). Apabila seseorang senantiasa menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan niscaya cermin itu gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
Memang diakui oleh para tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pembersihan dan penggosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS. Asy-Syams/91 : 9-10).
Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah).
Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah Swt.
Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan akhlak karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (menjaga diri dari hal-al yang tidak jelas kekhalalannya) sabar (tabah), faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri setelah berusaha) dan sebagainya.
Setelah seorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb.
Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri manusia juga dapat dihilangkan dengan menggunakan cara teori mahabbah.
Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3. Menggosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.
Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) bagian dari maqamat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.
Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji Tuhan.
2. Cinta orang yang siddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3. Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:
1. Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah
2. Berfikir tentang ciptaan Allah, dengan cara memikirkan segala ciptaan-Nya maka pasti kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah.
Al-hujwiri membagi empat golongan manusia yang ridho kepada Allah.
1. Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat
2. Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini
3. Mereka yang ridho terhadap penderitaan
4. Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.
Adapun cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1. Cinta Ilahiyah: yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada makhluk dimana ia menciptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada khaliqnya yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk rindu untuk kembali pada Dia, setelah dia merindukan sebagai makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan ilahi manusia.
2. Cinta spiritual: terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya dia cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu adalah dia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang kekasih.
3. Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.
Cinta dan pengampunan Allah kepada manusia adalah rahmat. Sedangkan cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang dimanifestasikan di dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berusaha memuaskan kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat memandang Allah serta tidak dapat dialihkan kepada siapapun kecuali Allah. Akan selalu merasa akrab dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
___________, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1999.



F.     PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial. Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.     

Komentar

Postingan Populer